
Seperti sebuah mainan indah yang mereka miliki,
tiba-tiba direnggut dari tangannya.
Luka teramat dalam ini, akan mempengaruhi
kehidupan mereka dikemudian hari. Cacat pusaka yang terbentuk dari kegagalan
orang tuanya untuk mempertahankan perkawinan, membawa pengaruh besar tidak saja
terhadap anak-anak yang telah Tuhan titipkan bagi mereka untuk dibesarkan
tetapi juga membawa pengaruh besar bagi saudara, orang tua dari pasangan
tersebut.
Kadang perkawinan begitu menyakitkan untuk beberapa orang.
Kadang perkawinan begitu menyakitkan untuk beberapa orang.
Ada beberapa kisah aku pernah dengar dan ada pula
yang aku alami sendiri.
Seorang teman wanita akhirnya harus berpisah
dengan suaminya. Aku tahu sendiri, dia harus mengorbankan mantan pacar yang sebenarnya
juga sangat dia cintai. Mengorbankan juga banyak hal yang dia telah miliki dan
harus relakan untuk memulai dengan seseorang yang dia pilih untuk dinikahi.
Karena suatu alasan yang menurutnya masuk akal
dan terbaik pada saat keputusan itu diambil, akhirnya mereka menikah.
Waktu berlalu dan ketika manisnya perkawinan
berubah menjadi sebuah neraka, mereka memutuskan untuk berpisah.
Sama seperti ketika mereka mulai menikah. Ketika
mereka bercerai alasannya pun masuk akal dan terbaik pada saat keputusan itu
diambil.
Begitulah pernikahan dimulai begitu pulalah itu
diakhiri. Dengan pertimbangan yang sama baiknya, menurut kebenarannya saat itu.
Menurut situasi saat itu.
Tapi bagaimana dengan anak? Apakah dia harus mau
menerima kebenaran orang tuanya saat itu?
Bagaimanakah kehidupan barunya tanpa keluarga
yang semestinya menjadi sandaran hidupnya? Sebuah lahan cinta untuk anak tumbuh
dan berkembang.
Ada luka batin disana, yang akan dibawanya terus
menerus. Akan membuatnya mengambil keputusan-keputusan tanpa kesadaran nya
sendiri. Mungkin istilah cacat pusaka perceraian ini mendorong nya menjadi
manusia tidak utuh.
Pasangan semestinya mempertimbangkan resiko yang akan timbul
sebelum mereka memutuskan untuk bercerai.
Ada sebuah kisah. Tentang seorang istri yang memiliki suami yang
berperilaku buruk. Lebih tepat dikatakan buruk sekali.
Selain suka selingkuh, sang suami rupanya juaga mempunyai tabiat kasar. Memukul istri bukanlah hal pantangan baginya.
Selain suka selingkuh, sang suami rupanya juaga mempunyai tabiat kasar. Memukul istri bukanlah hal pantangan baginya.
Hal ini tidak menjadikan sang istri mengambil langkah untuk
mengajukan gugatan perceraian. Atau meninggalakan suaminya dan kembali pada ayah ibunya. Meski tetangga, saudara, bahkan anak-anak tahu perilaku buruk
tersebut.
Tetangga, teman dan sahabatnya pun telah menyarankan untuk bercerai.
Tetapi si Ibu ini memilih untuk tetap bertahan.
Tetangga, teman dan sahabatnya pun telah menyarankan untuk bercerai.
Tetapi si Ibu ini memilih untuk tetap bertahan.
Ada suatu hal yang menarik, ketika kutanyakan "kenapa tidak mengambil tindakan atas perilaku buruk sang suami?"
Jawabnya sungguh mencengangkan, karena dia orang Katolik, sudah berjanji sehidup semati untuk tidak berpisah. Perceraian adalah suatu yang tabu untuk dibicarakan, dipikirkan apalagi direncanakan.
Yang menarik bagiku, kenapa ketika kutanyakan tentang "mengambil tindakan atas perkawinannya", pikirannya langsung mengarah ke peceraian? (aku ndak mikir
seperti itu).
Kupikir karena setiap orang yang dia temui menyarankan perceraian
sebagai solusi masalah. Jadi pikirannya langsung mengarah pada titik itu.
Dengan mengelus dada kukatakan, bahwa sikapnya salah. Menurutku,
my personal opinion, semestinya dia pergi ke polisi, lembaga perlindungan
wanita atau bantuan-bantuan lain yang memungkinkan.
Menurutku, meski dengan alasan berbeda, perceraian memang bukan
hal yang menjadi bahan pertimbangan penyelesaian masalah. Meskipun bahkan
gereja Katolik pun saat ini lebih terbuka terhadap ide perceraian (Pembatalan
perkawinan) atau istilah apapun. Ide tentang memisahkan seorang istri dengan
suami dan keluarganya adalah bukan ide yang benar.
Bagaimana kalau pihak wanita pergi kekantor polisi? Suami di
penjara. Lalu sadar? Peluang itu tetap selalu ada. Kita harus selalu berpikir
bahwa seperti manusia lain, harus diberi kesempatan kedua.
Bagaimana kalau tidak sembuh juga?? Bagaimana kalau kita beri
kesempatan sampai 7X?? Kukira ide ini perlu dipertimbangkan.
Bagaiamanapun sudah ada kekerasan terjadi disana. Anak-anak telah
diberi tontonan yang tidak semestinya. Menambah dengan tontonan perceraian
bukanlah hal yang baik. Memberi kesempatan sang ayah untuk berubah. Mungkin
suatu hari sang ayah akan meminta maaf seperti yang terjadi di film-film itu.
Bagaimana kita belajar dari hal diatas? Lingkungannya menyarankan
perceraian, sebagai solusi praktis. Sementara sang istri bertahan dengan alasan
religi. Alasan keimanan. Dimana setiap penderitaan akan berbuah manis
dikemudian hari. Sebuah derita yang semestinya memang dia tanggung.
Meski arahnya bukan perceraian alasannya menurutku kurang tepat.
Kotbah kemarin tentang ide perceraian juga. Tentang seorang wanita
yang memiliki suami suka selingkuh. Tentang penderitaanya dan ide perceraian
untuk menyelesaikannya.
Sang istri mengutarakan, dirinya merasa punya hak hidup bahagia
juga. Kebetulan seorang duda yang merupkan teman baiknya mengajak untuk memulai
kehidupan baru.
Pertanyaannya sederhana.
Akankah mereka bisa bahagia?
Berapa persen kemungkinannya mereka bisa berhasil dalam pernikahan keduanya? Sakitkah kegagalan perkawinan pertamanya? Kalau kegagalan itu menyekaitkan, mungkinkah dua orang sakit itu bekerja sama saling mengobati?
Akankah mereka bisa bahagia?
Berapa persen kemungkinannya mereka bisa berhasil dalam pernikahan keduanya? Sakitkah kegagalan perkawinan pertamanya? Kalau kegagalan itu menyekaitkan, mungkinkah dua orang sakit itu bekerja sama saling mengobati?
Akankah mereka bisa bahagia? Tanpa keinginan untuk menghakimi atau
mencoba mendahaului kehendak yang kuasa. Jawabnya “Mungkin”. Karena tidak ada
hal yang tidak mungkin di dunia ini. Kemungkinan berhasil selalu ada.
Kemungkinan gagal juga ada. Tapi kalau mereka belajara dari pengalaman
sebelumnya. Dimana mereka berdua mengawali perkawinan dengan proses pencarian
belahan jiwanya. Setelah berhasil, mereka memutuskan untuk menikah. Memilik
beberapa anak dan kini akan memulai lagi dengan persiapan lebih cepat dan
informasi lebih sedikit.
Berapa persen kemungkinannya mereka bisa berhasil dalam pernikahan
keduanya? Jawabannya matematis sekali. Tiap orang akan memiliki jawaban yang
berbeda. Anggap saja supaya adil 50%, sebuah jawaban matematis yang merupakan
compromi antar mereka yang setuju si wanita bercerai dan memulai kehidupan baru
dengan sang duda.
Sakitkah kegagalan perkawinan pertamanya? Sakit, sakit sekali.
beberapa orang rela mengakhiri hidupnya ketika perkawinannya gagal. Hal ini
mereka lakukan karena mereka sudah tidak sanggup lagi menanggung sakitnya.
Kalau kegagalan itu menyekitkan, mungkinkah dua orang sakit itu
bekerja sama saling mengobati? Coba anda membayangkan. Ketika anda tidak punya
uang, dan datang seseorang meminjam uang pada anda, apa jawabnya?
Mungkin perumpamaan tidak sebanding.
Kalau anda pusing, mungkinkah anda menolong teman anda yang sedang pusing? Mungkin perbandingan ini lebih sebanding.
Lebih baik sembuhkan dulu pusing anda dan setelah itu membantu teman anda yang pusing.
Dua orang memiliki masalah perkawinan. Berkumpul bersama seperti mengumpulkan dua masalah dalam satu atap?
Mungkin perumpamaan tidak sebanding.
Kalau anda pusing, mungkinkah anda menolong teman anda yang sedang pusing? Mungkin perbandingan ini lebih sebanding.
Lebih baik sembuhkan dulu pusing anda dan setelah itu membantu teman anda yang pusing.
Dua orang memiliki masalah perkawinan. Berkumpul bersama seperti mengumpulkan dua masalah dalam satu atap?
Anak adalah area utama yang harus dipikirkan ketika anda berencana
mengakhiri perkawinan.
Tiap orang boleh mengambil keputusan praktis yang menyenangkan
hati dengan cara mengakhiri perkawinan. Bagaimanakah kebahagian yang anda raih
dari hasil perceraian, anak tetap telah menjadi korban.
Jika perceraian akhirnya menjadi sebuah pilihan, langkah untuk
melindungi anak dari bencana ini harus segera diambil.
Banyak contoh dari buah perkawinan yang gagal telah membuahkan
petaka bagi anak-anak.
Anak tidak percaya pada lembaga perkawinan.
Anak tidak lagi percaya tentang kekuatan cinta.
Anak menjadi menderita karena kegagalan bahtera rumah tangga.
Anak menjadi minder karena menjadi berbeda dibanding lingkungannya.
Kesemuanya itu akan membuat cacat pusaka pada sang anak.
Cacat pusaka yang tidak bisa mereka damaikan pada gilirannya membawa mereka menuju jurang kehancuran.
Anak tidak percaya pada lembaga perkawinan.
Anak tidak lagi percaya tentang kekuatan cinta.
Anak menjadi menderita karena kegagalan bahtera rumah tangga.
Anak menjadi minder karena menjadi berbeda dibanding lingkungannya.
Kesemuanya itu akan membuat cacat pusaka pada sang anak.
Cacat pusaka yang tidak bisa mereka damaikan pada gilirannya membawa mereka menuju jurang kehancuran.
Perkawinan bukanlah hal mudah. Menyatukan dua buah mahluk yang
memiliki latar belakang berbeda, kecerdasan berbeda, visi berbeda, kehendak
berbeda, hoby berbeda dan perbedaan lain dalam sebuah atap.
Ketika kita masih remaja, visi kita tentang cinta begitu sederhana. Asal cantik dan ganteng cukup.
Dewasa sedikit cantik dan ganteng ditambah baik.
Tambah dewasa lagi cantik dan ganteng, baik dan punya masa depan.
Dewasa lagi sedikit berubah, bobot bibit bebet.
Visi kita tentang cinta bertambah dengan bertambahnya umur.
Ketika kita tua, kita tetap mencintai pasangan kita. Meski bau, jelek dan setumpuk kejelekan lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Tapi kita tetap cinta. Kenapa?? Terpaksa atau apa?
Jawabannya karena setelah tua, kita menemukan cinta sejati kita pada pasangan kita.
Ketika kita masih remaja, visi kita tentang cinta begitu sederhana. Asal cantik dan ganteng cukup.
Dewasa sedikit cantik dan ganteng ditambah baik.
Tambah dewasa lagi cantik dan ganteng, baik dan punya masa depan.
Dewasa lagi sedikit berubah, bobot bibit bebet.
Visi kita tentang cinta bertambah dengan bertambahnya umur.
Ketika kita tua, kita tetap mencintai pasangan kita. Meski bau, jelek dan setumpuk kejelekan lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Tapi kita tetap cinta. Kenapa?? Terpaksa atau apa?
Jawabannya karena setelah tua, kita menemukan cinta sejati kita pada pasangan kita.
Ada cinta yang menutupi keburukan pasangan kita. Ada cinta yang mengobati rasa sakit. Selalu ada cinta disana yang akan menyatukan perbedaan yang muncul.
Dalam perjalanan waktu, masalah selalu ada. Dari persoalan ekonomi,
perselingkuhan, campur tangan mertua, pandangan politik dan hal lain seperti
layaknya kehidupan akan tetap muncul.
Bukan hal mudah. Tetapi kita orang yang percaya Tuhan, selalu
harus yakin, bahwa selalu ada pertolongan dariNya ketika kita berusaha.
Ingatlah sebuah kisah tentang perkawinan di Kana. Hal pertama yang
dilakukan Tuhan ketika datang ke dunia bukan untuk menghidupkan orang mati,
menyembuhkan orang sakit kusta atau mengajarkan kebajikan.
Hal pertama yang Dia pilih untuk dilakukan adalah "menyelamatkan
perkawinan".