Buang saja dan hiduplah dalam kemuliaan.
Aku memiliki suatu hoby unik, duduk di pinggir trotoar sambil merokok. Menghitung mobil dari kanan atau kiri atau sekedar menikmati suasana.
Hobby ini menurut beberapa orang kurang baik. Seorang atasanku pernah menegurku soal masalah ini.
Suatu hari sehabis makan malam dirumah makan kelas atas di Jakarta untuk suatu acara kantor. Sambil menunggu yang lain selesai, aku duduk di trotoar sambil merokok. Tiba-tiba datang direkturku dan menegurku.
Aku kurang ingat redaksinya tapi kira-kira seperti ini "Kamu itu seorang manager, berbuat dan bersikaplah seperti layaknya seorang manager." Aku segera berdiri tanpa membantah pernyataan atasanku.
Ketika teguran itu diberikan, aku tidak sepenuhnya sadar kesalahanku. Beberapa tahun kemudian baru aku menyadari memang aku salah. Tidak semestinya berlaku seperti itu.
Bakat dari kecil
Gedenya
Aku kehilangan duah buah jaket coklat. Setelah mencari kesana kemari, istri bilang bahwa jaket itu telah dia buang.
Aku sedih sekali mendengar informasi itu.
Meskipun sudah lusuh, kumal dan ada banyak tambalan disana sini, aku amat menyukainya. Dengan jaket itu aku merasa nyaman. Melakukan hobyku duduk di pinggir trotoar sambil merokok atau sekedar nongkrong dengan tukang parkir atau gembel manapun. Dengan jaket itu aku merasa dijembatani. Merasa bisa diterima.
Dalam kesedihan itu istriku mendekatiku dan menasehatiku, sebuah nasehat yang pernah kuberikan padanya. Meski nasehat itu dulu kuberikan sifatnya perumpamaan, kali ini nasehat ini diberikan dalam kaitan realita jaketku yang telah dia buang.
Nasehatnya kira-kira seperti ini :
Seorang pengemis tinggal dekat istana raja. Suatu hari, ia melihat pengumuman dipasang di luar gerbang istana. Raja mengadakan suatu perjamuan besar. Siapa saja yang berpakaian kerajaan diundang ikut serta dalam perjamuan.
Si pengemis pergi dengan sedih. Ia memandang baju compang-camping yang dikenakannya dan mendesah. Tentu saja hanya para raja dan keluarga kerajaan yang mengenakan jubah kerajaan, begitu pikirnya. Sekonyong-konyong suatu ide muncul di benaknya. Memikirkannya saja telah membuat tubuhnya gemetar. Beranikah ia?
Si pengemis kembali ke istana. Ia menghampiri penjaga gerbang istana.
“Tolong saya, pak, saya mohon bicara dengan Sri Baginda.”
“Tunggulah di sini,” jawab penjaga.
Beberapa menit kemudian ia telah kembali. “Sri Baginda berkenan menemuimu,” demikian katanya, lalu menghantar si pengemis masuk.
“Kamu ingin menemuiku?” tanya raja.
“Ya, Tuanku raja. Hamba begitu ingin ikut serta dalam perjamuan yang Tuanku selenggarakan, tetapi hamba tidak memiliki jubah kerajaan untuk dikenakan pada perjamuan tersebut. Sudilah Tuanku, maafkan kelancangan hamba, sudilah Tuanku memberikan kepada hamba salah satu jubah usang Tuanku, sehingga hamba dapat datang ke perjamuan.”
Tubuh sang pengemis bergetar begitu hebat hingga ia tak sempat melihat sekilas senyum di wajah sang raja. “Engkau sungguh bijaksana datang kepadaku,” kata raja.
Raja memanggil putranya, sang pangeran. “Ajaklah ia ke kamarmu dan berilah ia pakaian dari pakaianmu.”
Pangeran melakukan apa yang diperintahkan ayahnya dan segera saja sang pengemis telah berdiri di depan sebuah cermin, mengenakan jubah yang tak berani ia berharap untuk memilikinya. “Sekarang engkau layak ikut ambil bagian dalam perjamuan raja esok malam,” kata pangeran. “Tetapi, yang lebih penting dari itu, engkau tidak akan pernah memerlukan baju lagi. Jubah yang engkau kenakan itu akan tahan untuk selamanya. Sang pengemis jatuh tersungkur, “Oh, terima kasih,” serunya.
Tetapi, sementara ia pergi meninggalkan kamar, terlihat olehnya tumpukan baju dekilnya di atas lantai. Ia ragu-ragu. Bagaimana jika yang dikatakan pangeran itu tidak benar? Bagaimana jika ia membutuhkan baju lamanya lagi? Segera dipungutnya baju compang-campingnya.
Perjamuan itu jauh lebih mengagumkan daripada yang dapat dibayangkannya. Namun demikian, ia tak dapat menikmati perjamuan seperti seharusnya. Ia telah menggulung baju compang-campingnya menjadi suatu buntalan, dan buntalan itu berkali-kali jatuh dari pangkuannya. Hidangan berlalu cepat dan sebagian hidangan paling lezat itu terlewatkan olehnya.
Waktu membuktikan bahwa pangeran benar. Jubah pemberian pangeran tahan untuk selamanya. Tetapi, tetap saja pengemis yang malang itu merasa sayang untuk membuang baju compang-campingnya. Dengan berlalunya waktu, orang mulai lupa akan jubah kerajaan yang dikenakannya. Mereka hanya melihat buntalan baju compang-camping yang ia bawa kemanapun ia pergi. Mereka bahkan menyebutnya sebagai pak tua dengan baju compang-camping.
Suatu hari, sementara ia terbaring mendekati ajal, raja mengunjungi Si pengemis. Melihat wajah sedih raja ketika raja melihat buntalan dekil baju compang-camping di sisi pembaringannya. Tiba-tiba teringatlah sang pengemis akan ucapan pangeran dan ia menjadi sadar bahwa buntalan dekil itu telah membuatnya kehilangan kesempatan menikmati kerajaannya yang sebenarnya sepanjang hidupnya. Ia pun menangis pilu mengingat kebodohannya.
Moral cerita.
Sering kita membawa masa lalu kedalam kehidupan saat ini yang sesungguhnya tidak diperlukan.
Mungkin kita masih menjalin kontak dengan mantan pacar kita, mungkin kita masih trauma dengan kegagalan kita, mungkin kita terbebani oleh persoalan lama yang tidak terselesaikan atau mungkin hal-hal lain.
Yang seseungguhnya saat ini kita sudah mendapatkan pengganti lebih bagus lebih baik.
Untuk apa memakai baju butut itu? Berikan saja kepada mereka yang lebih layak menerimnya. Baju itu akan menjadi berkat baginya dan menjadi masalah bagimu.
Untuk apa menjalin hubungan dengan mantan pacar kita? Biarkan saja suaminya mengurusnya. Suaminya akan menghandelnya lebih baik.
Untuk apa bergelut dengan prospek gagal kita dimasa lalu? Biarkan saja orang lain mengambilnya, mereka lebih layak dan mungkin lebih baik menjalankan prospek itu.
Selamat tinggal jaket lusuhku.
Aku masih merindukanmu.
Selamart tinggal masa lalu kelabu.
Aku sudah merelakanmu.