Rencanamu Selalu Indah
Kehidupan itu indah untuk dijalani. Meski sesakit apapun hari ini, yakinlah pada waktunya semua akan indah.
Yang perlu kamu lakukan adalah berusaha terbaik, untuk mewujudkan semua mimpi indah yang kamu miliki.
Namanya Iman. Aku berkenalan sekitar tahun 1997 ketika aku sering dititipi batik oleh teman-teman untuk dibawa ke Jakarta.
Wajahnya yang ceria dan penuh semangat, mungkin dikarenakan dia adalah pengantin baru seperti memancar keluar dari tubuhnya.
Aura kebahagiaan itu ditularkan kepada lingkungannya, seperti virus kiebahagiaan.
Iman dan Nisa adalah pasangan serasi. Pasangan soleh dengan kelimpahan anugerah.
Iman seorang anak tunggal seorang pengusaha batik yang tidak terkenal tetapi laris. Batik buatan keluarganya memiliki kualitas lumayan dan secara harga memang bersaing. Mungkin ini yang menyebabkan usaha mereka bisa bertahan lama dan mampu menghidupi mereka secara berkecukupan.
Dari tawar menawar harga, akhirnya kami bisa mengobrol panjang lebar dan kemudian menjadi teman baik. "Baik" artinya harganya bisa lebih murah dan boleh ambil barang lebih dahulu dan membayar secara tempo, dua minggu sampai sebulan.
Baik juga artinya ketika main kerumahnya boleh numpang makan.
Menjadi yatim sejak bangku SMP. Ibunya mengambil alih usaha batik itu kemudian selepas SMA, Iman mulai mengambil alih usaha keluarga tersebut.
Sebagai seorang pengusah batik, Iman seorang fighter yang luar biasa. Aku melihat bagaimana dia mengurus usahanya dari pembelian, produksi sampai ke penjualan.
Dengan beberapa pegawai tetap, mampu bertahan dari kerasnya persaingan dan mengikuti gejolak naik turunnya bisnis perbatikan.
Luar biasa, mungkin adalah kata paling tepat digunkan untuk menilai dirinya.
Sesekali kami makan nasi megono dalam pembicaraan bisnis. Dalam obrolan kami, kupelajari sistem managemennya yang sederhana, dapat kupahami bahwa kesuksesnya mengelola bisnis ini adalah karena kerja keras, kesupelan dan keuletannya.
Kerja keras, bekerja tanpa kenal lelah. Supel pada suplier dan pelanggannya. Supel pula pada para pegawainya. Ulet dengan sikap pantang menyerah untuk mencari semua celah.
Dalam kegiatannya berjualan batik, Iman bertemu banyak orang. Salah satunya ialah seorang pedagang batik bernama Ibu Neni. Karena seringnya bertemu untuk bertransaksi bisnis, keduanya akhirnya akrab. Bu Neni adalah seorang pedagang batik, dia mengambil batik dari para perajin di Pekalongan dan mengirimnya ke kota besar seperti Jakarta di tanah Abang atau Solo di pasar Klewer.
Seorang janda memiliki 4 orang anak, nama anak terkecilnya Nisa.
Dalam sebuah kunjungan penagihan, Iman berkenalan dengan Nisa. Iman tahu bahwa Bu Neni memiliki seorang anak perempuan yang belajar di luar kota.
Nisa memiliki wajah rupawan. Dengan kulit kuning langsat setiap pria pasti akan menoleh kepadanya.
Selain pandai berdandan ternyata Nisa juga memiliki bakat seperti Ibunya untuk berdagang batik.
Dalam kedekatan itulah mereka akhirnya berpacaran, pada tahun 1997 mereka menikah.
Bulan madu selalu indah itulah yang terjadi pada tahun-tahun awal perkawinan mereka. Tetapi suatu saat bulan madu akan berakhir. Demikian pula perkawinan Iman.
Ketidak hadiran momongan menjadi masalah, dikarenakan Nisa sangat menginginkan momongan bagi dirinya. Begitu besar keinginnya memiliki momongan hingga menjadi suatu obsesi.
Setelah kematian Ibu Neni dan tidak mulusnya pembagian warisan antara anak-anak, keluarga ini terlibat persengketaan hingga perseteruan, Nisa mulai tidak dekat lagi dengan saudara-saudaranya.
Pertengkaran dan perselisihan antara Nisa dan Iman sering muncul di permukaan. Pokok utama pertengkaran adalah momongan.
Pertengkaran semakin keras dikarenakan Nisa selalu menyalahkan Iman sebagai pria yang tidak subur. Dalam pikiran, suaminya mesti tidak subur karena dia anak tunggal. Secara sepihak telah menuduh Iman adalah sebagai biang kerok ketidak harmonisan mereka. Iman dianggap gagal membuahi.
Waktu berlalu. Nisa memiliki beberapa teman akrab baik lelaki maupun perempuan. Berbeda dngan Iman yang selalu bekerja keras, teman-teman Nisa adalah para penikmat hidup. Kelayapan di karoke dan dugem hampir menjadi keseharian bagi mereka.
Sesekali ikut teman-teman tersebut tapi akhirnya hal ini menjadi kebiasaan. Pulang pagi dalam keadaan teler, membuat Iman sering mengelus dada.
Siapakah setan itu. Setan adalah mahluk yang menghancurkan kebahagian kita. Setan ingin kehidupan kita hancur sampai sendi-sendi kita.
Entah bagaimana ceritanya, muncul lelaki lain dalam kehidupan Nisa. Lelaki ini memprovokasi Nisa untuk minta cerai dan menikah dengannya.
Dengan iming-iming tentang keluarga harmonis dengan beberapa anak, omongan si jahat mulai merasuki jiwa Iman.
Setelah beberapa perselingkuhan Nisa yang diketahui Iman, akhirnya Nisa memaksakan diri untuk bercerai.
Usaha mati matian Iman untuk mempertahankan perkawinan mereka berbuah kesiasian. Pada akhir 2001 mereka bercerai.
Perceraian itu membuat Nisa mendapat bagian uang yang sangat besar, lebih dari cukup untuk hidup berkecukupan selama 50 tahun tanpa perlu harus bekerja.
Sesekali aku bertemu Iman, aku memberi penghiburan dan semangat. Dunia Iman benar-benar berubah. Wajahnya yang dahulu memancarkan keceriaan kini berganti dengan kedukaan. Aura kecerian yang dulu kuat memancar dari dalam dirinya, kini berubah menjadi kepiluan yang akan menarik setiap orang dalam kesedihan.
Usaha keras untuk melupakan kesedihan dilakukan dengan cara bekerja lebih keras lagi. Meski hasil yang dia dapat tidak sebanyak ketika kebahagiaan menyelimutinya.
Kesedihan itu seperti tercermin dari hasil produksi yang mulai menurun kwalitasnya.
Kesulitan keuangan mulai menghantui bisni keluarga tersebut.
Si jahat berhasil menghancurkan perkawinan Iman dan kini sumber penghidupan Iman dan para pekerjanya sedang dalam proses penghancuran.
Aku masih ingat, saat itu hari sabtu iman menelponku, "Mas di Pekalongan apa Jakarta?" "Pekalongan, piye Man?"
"Makan megono di tempat biasa bisa Mas?"
"Ok, jam 8 ya Man" aku menjawab dan menutup telpon.
Pertemuan malam itu intinya Iman sedang mengalami kesulitan keuangan dalam bisnis dan berharap aku bisa membantu. Bantuan nasehat dan keaungan yang memungkinkan usaha batiknya kembali bisa berjalan.
"Aku akan bantu keuanganmu, tapi yang jauh lebih penting, kamu harus membenahi hidupmu.... Setelah hidupmu baik, kamu akan bisa membereskan masalah bisnismu. Percayalah.... Dulu kamu pernah menghadapi masalah lebih sulit dalam bisnis ini. Masalah saat ini jauh lebih ringan, meski ringan menjadi begitu sulit, karena kamu secara pribadi dalam kondisi tidak baik" aku mencoba memberi nasehat pada Iman..
Iman diam saja, kuharap dia mengerti.
Aku memberi nasehat, intinya adalah aku ingin dia bahagia. Berbahagia karena bersyukur, meski hal yang terjadi bukan sesuatu yang menyenangkan tapi aku mau Iman mencari sesuatu titik dimana ada sesuatu hal yang bisa disyukuri dari percerian dengan Nisa dan kemlorotan bisnis.
Aku tahu akan sulit sekali menemukan titik syukur dari sebuah bencana. Tapi aku harap Iman bisa menemukan.
Aku menelpon dia dari Jakarta sore itu mengabarkan bahwa aku telah mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Selain itu aku mengingatkan dia, bahwa dia harus menemukan titik untuk bersyukur karena masalah berat yang sedang dihadapi.
Aku ingatkan pula, tanpa rasa syukur, hanya akan menimbulkan masalah baru dan seberapapun besar uang aku glontorkan tidak akan mampu mengangkat bisnisnya.
Sebaliknya kusampaikan, kalau Iman bisa bersyukur dalam bencana ini, meski hanya aku menemani dia ngobrol, bisnisnya akan terangkat dan semua akan berjalan baik.
"Okay Mas, saya masih berusaha mencari titik syukur itu" demikian jawaban Iman dari seberang telpon.
Sebulan kemudian Iman menelpon dan mengajak bertemu. Dalam pertemuan itu Iman menceritakan dia mulai bisa bersyukur atas kejadian yang sedang terjadi.
Dalam kesempatan ngobrol itu aku bertanya tentang perkawinan Iman.
"Apa kata dokter...... tentang kenapa kalian belum memiliki anak?" tanyaku disela makan.
"Kami tidak ke dokter, kami tidak sakit...... Aku memang anak tunggal Mas. Ayahku juga anak tunggal, kukira memang Nisa benar dalam hal ini bahwa aku kurang subur."
"Tapi kamu bisa mendapatkan pendapat dari ahlinya khan Man.... mungkin dokter punya alternative agar kamu bisa punya anak" aku menimpali.
Waktu berlalu. Kehidupan Nisa yang tidak jauh dari hura-hura dan narkoba menyebakan kebangkrutan. Suaminya yang tampan tetapi pengangguran tidak banyak membantu dalam kesulitan ini.
Setelah menjual rumah dan harta lain, Nisa pindah dari Pekalongan. konon khabarnya menjadi seorang pemandu lagu di sebuah karoke. kerja sampingan untuk memenuhi hasratnya akan narkoba dan hura-hura juga dia lakukan.
Iman dengan kerja keras bisa kembali meraih kesuksesan secara ekonomi. Anak buahnya sudah bertambah dan dia memiliki dua kios batik di kota pekalongan.
Keluar dari himpitan masalah ekonomi Iman masih tidak mau kembali mencari seorang istri. Menurutnya dia katakan padaku, dia tidak yakin akan menikah lagi ada ketakutan untuk gagal kembali. Semacam traumatik yang sangat menyakitkan.
Tapi di sudut matanya aku bisa mengkap bahwa cintanya pada Nisa masih melekat dan seperti tidak akan pernah luntur setelah tahun-tahun berlalu.
Suatu hari, ketika Iman sedang duduk dibelakang rumah menikmati pemandangan ikan koi dikolam yang sengaja diuat untuk bersantai. Suatu kebiasaan setiap hari selepas dia bekerja, Ibu Iman mendekati anaknya dan bertanya. "Nisa piye khabare saiki Man? pertanyaan sederhana yang mengejutkan Iman disore itu.
Iman tediam dan mencoba mencari arah kemana Ibunya bertanya. Hal pertama yang dia pikirkan adalah keungkinan Ibunya makin tua dan mulai pikun dan tidak ingat bahwa mereka telah bercerai.
"Waduh.... aku tidak tahu to Bu.... kami sudah lama tidak bertemu" Iman menjelaskan.
Insting seorang Ibu, bahwa Nisa tidak bahagia setelah bercerai dengan Iman, mendorongnya untuk mencari keberadaan Nisa dan mencoba mencari khabar tentang dirinya.
Dalam ingatan si Ibu dia masih ingat ketika Nisa merawat dengan baik ketika mereka masih serumah. Nisa seorang anak yang berbakti dengan orang tua. Hari-hari terakhir sebelum perceraian Nisa dan Iman, hubungan mereka masih tetap baik.
Dipanggilnya salah seorang pekerja dan diminta mencari keberadaan Nisa dan mencari khabar Nisa.
"Temukan Nisa, aku mau tahu keberadaan dan khabarnya. Akhir-akhir ini hatiku terasa tidak enak dan aku selalu membayangkan Nisa" si Ibu memberi perintah pada pegawainya.
Bukan pekerjaan mudah bagi si pekerja mencari keberadaan Nisa. Beberapa hari tidak masuk bekerja untuk mencar keberadaan Nisa. Tapi setelah dia bertemu dengan suami kedua Nisa diperoleh keterangan bahwa Nisa pindah ke tegal bersama seorang teman baiknya.
Pekerja itu kembali kepada Ibu Iman dan melaporkan tentang hasil yang dia peroleh.
Ibu Iman memberi pekerja itu uang lebih dari cukup untuk pergi ke tegal dan mencari keberadaan Nisa.
Sore itu seperti sore lain. Iman duduk di depan kolam sambil minum teh panas menikmati perilaku ikan-ikan yang bergerak kesana kemari. Sambil sesekali melempar makanan ikan, tampak sangat asyik.
Sang Ibu mendekati Iman dan menyentuh pundaknya.
"Kamu tidak mau menikah lagi Man?" pertanyaan singkat ini sangat mengejutkan Iman.
'Kenapa ibu bertanya seperti itu..... Aku sudah bahagia dengan kehidupan saat ini."
"Man.... Ibu tidak bisa hidup selamanya.... Sepeninggal Ibu... Ibu harap ada wanita baik disampingmu... seorang wanita yang akan menyiapkan teh mu di sore hari. Seorang wanita baik yang akan menyiapkan sarapanmu di pagi hari dan menyiapkan baju sebelum engkau pergi".
Iman mulai menggelangkan kepalanya, kesedihan mulai menyelimuti wajahnya.
"Bu.... sesungguhnya bayangan Nisa selalu ada dimataku.... Aku tidak bisa melhat wanita lain. Sudah kucoba mengusir wajah Nisa dan mencari pengganti wajah baru... Tapi sampai saat ini tidak kutemukan wanita lain.."
"Man.... Nisa anak baik... Semua baik sampai akhirnya datang si begajul-begajul itu mempengaruhi kehidupannya.... Mereka menggosok Nisa supaya bercerai darimu agar mendapatkan bagian kekayaanmu... Coba renungkan hal ini.... Jangan pernah menyalahkan Nisa atas kejadian buruk ini" sang Ibu kembali berbicara sambil menitikan air mata.
"Ibu mau menyampaikan apa? Iman tidak mengerti arah pembicaran Ibu?" Iman kembali bertanya dengan lembut.
"Kalau kamu masih mencintai Nisa.... Kamu bisa mulai memaafkan dia. Mungkin kalian bisa rujuk dan memulai kembali kehidupan baru" kata sang Ibu sungguh mengejutkan Iman.
Ibunya tahu persis kenapa mereka bercerai dan sekarang mengajukan usul untuk rujuk.
"Iman tidak tahu dimana Nisa berada. Iman dengar dia sudah pindah keluar kota" Iman mencoba membuka pembicaran.
"Nisa ada di Tegal.... Aku sudah meminta salah satu pekerjaanmu untuk melacak keberadaan Nisa. Keadaan Nisa jauh dari baik.... sebaiknya kamu segera menemuinya. Aku tidak perlu bermacam hal, saat ini yang terbaik adalah menolong Nisa. Bagaimanapun dulu Ibu Neni memasrahkan pada Ibumu untuk menjaganya. Sekarang Ibu neni sudah meninggal dan kukira pesan itu tidak berlalu begitu saja. Temui Nisa..... Kalau dia sakit... Kamu obati.... Kalau dia lapar.... kamu beri dia makan. Ibu tidak minta lebih dari itu" Sang Ibu berbicara secara serius dengan nada memelas.
Iman diam sesaat.... Ada keraguan dimata dan setumpuk pertanyaan ingin dikelaurkan.
Si Ibu memegang tangan Iman.... seperti sebuah daya mengalir dari sana.
"Iya..... besok aku ke Tegal".
Seperrti disampaikan Ibunya, kondisi Nisa sangat buruk. Dia tinggal di bedeng dekat stasiun bersama beberap teman. Malam hari dia menjajakan tubuhnya yang kurus dan kuyu. Narkoba dan beban hidup berat ternyata telah mengambil semua keindahan tubuh Nisa. Iman sampai hampir gagal mengenali. Tapi dari suaranya dan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat, Iman meyakini itu Nisa.
Kahadiran Iman mengejutkan Nisa. Ada secerah kebahagiaan dimata Nisa ketika pertama bertemu Iman.
Demikian pula Iman.... Senyum kebahagian muncul.
Iman menyatakan keperluannya menemui Nisa dan menyampaikan pesan Sang Ibu.
"Mas Iman.... Nisa bukan orang baik. Nisa sudah senang Mas Iman mau repot datang kesini. Terima kasih atas tawarannya, tapi biarlah Nisa disini bersama teman-teman disini" Nisa enggan menerima kebaikan yang ditawarkan Iman.
Berdebatan muncul. Nisa tidak berhasil dibujuk Iman untuk menerima ajakan Iman, seperti dibawa ke dokter dan menerima uang untuk makan.
Ada rasa bersalah yang besar dalam diri Nisa. Rasa bersalah itu begitu besar sehingga dia merasa tidak pantas menerima kebaikan dari Iman, seseorang yang telah dia hancurkan. Rasa bersalah Nisa itu bisa dirasakan Iman dan dia tidak tahu bagaimana dia menyelesaikan itu.
Dengan sedih Iman keluar dari bedeng Nisa. Dalam kegalauan itu Iman menelponku.
Iman menjelaskan situasinya dan minta saranku menyelesaikan masalah ini.
Aku terkejut pada awalnya mendengar perkembangan ini. Aku tahu... dalam kondisi Iman saat ini dia tidak bisa memutuskan apapun karena hatinya sedang diselimuti kegalauan.
"Man.... Apapun yang terjadi... Nisa harus kamu bawa keluar dari bedeng itu. Bujuk lagi. Kalau gagal bujuk lagi. kalau gagal bujuk lagi. Kalau masih gagal cari polisi atau satpol PP untuk menangkap Nisa dan bawa Nisa ke rumah sakit" aku mencoba memberi alternative penyelesaian menghadapi situasi Iman.
Aku menambahkan lagi sebeum Iman berbicara "Kalau kamu tidak bisa menyelesaikan masalah sederhana ini.... Kamu berhenti saja jadi pengusaha".
"Iya Mas... makasih" Iman menjawab singkat dan mematikan telpon.
Iman kembali ke bedeng dan membujuk lagi Nisa untuk mau dibawa kerumah sakit. Setelah usaha untuk membujuk tidak akan berhasil, Iman mengancam kalau Nisa tidak mau dibawa ke rumah sakit, dia akan membawa polisi atau satpol PP ke lokasi itu.
Rupanya kata polisi dan satpol PP begitu menakutkan mereka. mereka tahu persis bahwa Iman mampu membawa polisi atau satpol PP atau keduanya sekaligus.
Kegaduhan di antara teman-teman Nisa akhirnya memaksa Nisa mau dibawa kerumah sakit.
"Setelah kamu sembuh dan sehat.... kamu kupersilahkan kembali kesini. Tapi sementara itu... biarkan aku menjalankan permintaan Ibuku" Iman mencoba memberi pengertai pada Nisa.
Iman memilih rumah sakit terbaik di kota tegal dan menempatkan Nisa di ruangan terbaik di rumah sakit itu.
Malam itu setelah mengabari Ibunya, Iman tidur di rumah sakit menjaga Nisa.
Kesehatan Nisa ternyata sangat buruk. Dari penyakit kulit, panu dan kadas. Herpes. Luka di alat kelamin. Pneumonia dan beberapa penyakit lainnya.
Tubuhnya yang kotor dan yang terberat jiwanya yang kosong.
Beberapa hari di rumah sakit. Iman libur bekerja dan menunggu Nisa sampai sembuh. Membawakan majalah dan menemani Nisa ngobrol di rumah sakit karena kebosanan dan kegelisahan, mulai muncul dari sikap Nisa.
"Kenapa Mas melakukan hal ini...."
"Aku menuruti permintaan Ibu."
"Kenapa Mas mau menruti Ibu?"
"Kalau bukan aku.... Siapa yang akan melakukan hal ini?" Iman berbicara sambil memegang jemri Nisa.
Dilihatnya penderitaan kekasih hatinya dengan rasa tidak rela. Ingin sekali menangis, tapi disadarinya itu hanya akan memperburuk keadaan. Iman hanya tersenyum.
Nisa masih memerlukan operasi plastik untuk mengobati luka di alat kelamin dan itu rencananya akana dibawa ke Semarang atau Jakarta.
Jakarta di rumah sakit Medistra menjadi pilihan Iman untuk menjalankan operasi plastik bagi Nisa. Aku menyempatkan diri menjemput mereka di stasiun dan mengantar mereka ke Medistra.
Dengan berseloroh aku berkata.... "Jadi kalian akan rujuk?" dan mereka terdiam semua.
"Kalian sebaiknya sekalian memeriksakan diri di Medistra. Mereka punya ahli kandungan bagus" aku mencoba memberi saran bagi mereka.
"Kurasa itu baik bagi kalian.... Paling tidak kalian tahu pendapat ahlinya kenapa kalian tidak memiliki anak. Dan semoga setelah tahu sebabnya kalian tidak saling menyalahkan kenapa tidak punya anak" hal ini kutekankan karena Nisa selam ini menuduh Iman adalah biang keladi kenapa mereka gagal memiliki anak.
Dalam evaluasinya dokter menyatakan ada kelainan di rahim dan itu memerlukan operasi. Hal itu akhirnya menjawab pertanyaan kenapa Nisa tidak bisa hamil.
Setelah seminggu di rumah sakit. Kondisi Nisa mulai pulih.
Aku menjemput mereka dan mengantar mereka ke Hotel. Sebelum ke hotel mereka kuajak ke Mall. Makan makanan mall dan Nisa kuminta belanja baju dan pergi ke salon. Kusampaikan pada penjaganya "Tolong buat Ibu ini secantik kamu bisa..... Dia mau pentas di TV" lelucon sederhana membuat mereka berdua tesenyum.
Menunggu Nisa di Salon kami pergi minum kopi dan ngobrol kesana kemari. Selepas dari salon, kami menemani Nisa berbelanja baju.
Dengan sabar dan telaten kulihat Iman menemani mantan istrinya berbelanja baju.
Sepulang dari mall kondisi Nisa benar-benar jauh berbeda. Kecantikan alami muncul dari wajah dan keceriaan mulai tumbuh, Kalau ada perubahan dalam diri Nisa dari pertama dulu kami bertemu adalah Nisa sekarang jauh lebih pendiam.
Nisa dan Iman pulang ke Pekalongan. Sang Ibu begitu gembira bisa kembali melihat Nisa dalam kondisi sehat dan baik. Tidak disentuh sama sekali tentang hal-hal buruk yang Nisa pernah lakukan.
Rumah itu kembali memancarkan cinta dan keceriaan. Anak yang hilang itu akhirnya kembali lagi.
Rasa syukur sang Ibu diperlihatkan dengan cara melayani Nisa sebaik mungkin, bahkan secara berlebihan. Air mata Iman menetes melihat betapa kasih Ibunya pada Nisa. Diperlakukan Nisa seperti seorang anak yang hilang dan kembali lagi.
Nisa tidak pernah keluar rumah. Dia memilih untuk beraktivitas sepanjang hari didalam rumah. Membantu sang Ibu dan tidak mau terlihat oleh siapapun.
Bagaimana ceritanya, aku tidak tahu. Tapi akhirnya keduanya bersepakat berencana rujuk.
Cinta selalu lebih kuat dari dendam dan cinta selalu mempererat hubungan. Begitu kuatnya cinta mereka, mampu menghilangkan luka dalam yang ditinggalkan karena perceraian.
Rencana rujuk ternyata tidak semulus harapan mereka. Surat cerai diperlukan karena Nisa terikat perkawinan dengan suami keduanya.
Hal ini mendorong Iman menelponnku untuk menyelesaikan masalah ini.
Aku jawab "beres". Siapkan saja perkawinan kalian dan rencana masa depan kalian.
Secara singkat aku menemui suami kedua Nisa. Dengan bahasa persahabatan kusampaikan keperluanku "Aku mau kamu ceraikan Nisa dan itu harus selesai dalam sebulan atau lebih cepat. Kalau berhasil kamu kukasih uang, kalau tidak berhasil kamu setiap hari akan kugebuki. kamu memilih mana?' diplomasi singkat dan jelas. Dalam tiga minggu ternyata surat cerai itu sudah selesai.
Kini Iman telah memiliki 3 orang anak. Mereka sedang menunggu kelahiran putera mereka yang ke empat.
Salatiga menjadi pilihan mereka untuk hidup rukun dan damai. Iman membuka dua kios alfamart dan membuat sebuah toko kelontong didepan rumah mereka.
Tidak ada kesalahan yang tidak bisa kita maafkan.
Tidak ada luka yang tidak bisa disembuhkan.
https://www.youtube.com/watch?v=VUqX3nzHu48
No comments:
Post a Comment